Kekayaan sebagai Pilihan
Pertama-tama, mari telaah klaim bahwa kekayaan adalah hasil dari pilihan sukses.
Memang benar bahwa banyak orang kaya dan sukses telah mencapai prestasi mereka melalui perjuangan, kerja keras, dan tekad yang kuat.
Mereka bukan hanya menerima nasib mereka, tetapi aktif berpartisipasi dalam membentuknya.
Sebagai contoh, pengusaha sukses seringkali memiliki cerita perjalanan yang penuh tantangan, mulai dari gagal berkali-kali hingga meraih kesuksesan akhirnya.
Ketika seseorang memilih untuk berjuang, memperbaiki diri, dan tumbuh menjadi lebih baik, mereka memasuki ranah pilihan sukses.
Ini melibatkan tidak hanya kerja keras fisik, tetapi juga pengembangan diri secara pribadi dan profesional. Kesuksesan seringkali merupakan hasil dari kombinasi keterampilan, pengetahuan, dan sikap positif yang memandu seseorang melalui rintangan dan kegagalan.
Penting juga untuk memahami bahwa pilihan sukses tidak selalu sejalan dengan kekayaan materi. Kesuksesan dapat diukur dari berbagai aspek kehidupan, termasuk pencapaian pribadi, kebahagiaan, dan kontribusi positif terhadap masyarakat.
Lihat Money Selengkapnya
Puncta 09.03.23Kamis Prapaskah IILukas 16: 19-31
KESENJANGAN hidup di tengah masyarakat nampak dari gaya hidup para pejabat. Kasus mantan pegawai pajak yang mempunyai harta kekayaan sampai milyaran rupiah sangat kontras dengan kondisi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.
Di satu pihak para pejabat hidup bermewah-mewah, sementara di tempat lain rakyat kecil hidup sangat menderita.
Dari Detikfinance dicatat bahwa Jakarta masuk urutan ke-20 dari 25 daftar kota termahal dunia pada 2021. Kondisi antara si kaya dan si miskin sangat “jomplang” artinya jurang kesenjangan sosial makin tinggi.
Menurut data Badan Statistik Nasional, ratio gini di Jakarta ada di 0,400 di tahun 2020. Padahal ratio gini nasional adalah 0,385. Artinya kesenjangan sosial di Jakarta jauh lebih besar daripada rata-rata nasional.
Yang mengejutkan justru Yogyakarta berada di puncak dengan angka 0,459.
Untuk kita pahami, ratio gini adalah indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan antar masyarakat di suatu negara atau suatu daerah.
Kalau angkanya semakin tinggi atau mendekati nilai 1, itu berarti ketimpangan di suatu daerah semakin tinggi.
Ketimpangan sosial akan berdampak pada kehidupan masyarakat; makin banyak pengangguran, kejahatan meningkat, daya beli masyarakat rendah, tingkat depresi dan stres makin tinggi. Hal ini harus menjadi keprihatinan semua pihak.
Dalam Injil digambarkan tingkat kesenjangan yang tinggi antara si kaya dan miskin dalam diri Lazarus.
Si kaya hidup dalam kemewahan, selalu memakai jubah ungu dan kain halus, setiap hari bersuka ria dalam kemewahan.
Sedang Lazarus si miskin hidup sebagai pengemis, badannya penuh dengan borok. Ia berbaring dekat pintu rumah orang kaya, Ia hanya bisa mengharapkan belas kasih dari orang kaya.
Tetapi malahan anjing-anjing menjilati boroknya.
Keadaan menjadi berbalik ketika mereka mati. Orang miskin itu berada dalam pangkuan Bapa Abraham dalam kemuliaan sedang si miskin mengalami derita yang kekal.
Orang kaya itu meminta bantuan Lasarus agar menyelamatkannya dari tempat penyiksaan itu.
Hal ini menunjukkan apa yang kita buat di dunia nanti juga akan terjadi di akerat. Apa yang tidak kita lakukan di dunia nanti pun tidak akan terjadi di kehidupan nanti.
Orang kaya itu semasa hidupnya tidak mau membantu Lasarus yang miskin. Kekayaannya hanya untuk dirinya sendiri.
Kekayaan bukan sesuatu yang buruk, jelek. Kita boleh menjadi kaya. Tetapi kita harus sadar bahwa kekayaan itu bersifat sosial.
Apa yang kita miliki adalah anugerah Tuhan. Anugerah itu harus dibagi untuk keselamatan orang lain juga.
Orang zaman ini sangat individualis. Mereka berpikir orang lain bukan urusan saya. Orang tidak mau peduli dengan keadaan di sekitarnya.
Kita harus ingat bahwa manusia itu makhluk sosial. Mari kita pupuk kesadaran sosial. Kita ingat sila ke lima dalam Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Jangan menyesal kalau nanti KPK menelisik harta kekayaan anda yang tidak jelas asal-usulnya dan menjeratnya dengan pasal pencucian uang. Lalu anda akan merengek-rengek minta bantuan Lasarus di surga sana.
Menikmati balet Ramayana di bulan purnama.Di tribun hawanya dingin harus berselimut kain.Orang disebut kaya bukan karena banyak harta,Dia adalah orang yang mau berbagi dengan orang lain.
Cawas, mari kita berbagi…
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
"Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin" adalah pepatah yang kemungkinan pertama kali diungkapkan oleh Percy Bysshe Shelley dalam esainya A Defence of Poetry (1821, tidak diterbitkan sampai tahun 1840). Dalam esai tersebut dia menulis: "To him that hath, more shall be given; and from him that hath not, the little that he hath shall be taken away. The rich have become richer, and the poor have become poorer; and the vessel of the State is driven between the Scylla and Charybdis of anarchy and despotism."[1]
"To him that hath" dst. adalah referensi ke Matius 25:29 (perumpamaan talenta, lihat juga efek Matius). Pepatah tersebut umumnya diungkapkan dengan berbagai variasi kata-kata, untuk merujuk pada efek kapitalisme pasar bebas yang menghasilkan kesenjangan berlebih.
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.” (QS. Al-zukhruf: 32)
Sesungguhnya banyaknya harta dan keturunan bukan ukuran kebenaran. Harta dan kekayaan bukan yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah dan menyebabkan masuk surga. Sesungguhnya yang bisa menjadikan mereka dekat dengan Allah, dimasukkan ke surga dan diselamatkan dari nereka, adalah iman dan amal shalih. Allah swt berfirman:
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آَمِنُونَ
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS.Saba’: 37) Sesungguhnya kaya-miskin merupakan ketentuan Allah. Dia melapangkan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Begitu juga sebaliknya, menyempitkan rizki dan membatasinya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia sengaja membuat perbedaan itu dengan hikmah yang Dia ketahui. Allah Ta’ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-An’am: 165) Dan firmanNya:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.” (QS. Al-zukhruf: 32) Ibnu Hazm al-Andulisy dalam kitabnya, al-Ushul wa al-Furu’ (1/108) menyinggung tentang kaya dan miskin, mana yang lebih utama?. Menurut beliau, bahwa kaya dan miskin tidak menentukan kemuliaan. Kemuliaan orang kaya dan orang miskin ditentukan oleh amal mereka. Jika amal keduanya sama, maka kemuliaannya pun juga sama. Jika yang kaya lebih banyak beramalnya, maka ia lebih mulia dari orang miskin, begitu juga sebaliknya. Kemudian beliau menjelaskan tentang hadits tentang orang-orang fakir 40 tahun lebih dulu masuk surga dibandingkan dengan orang kaya, bahwa secara umum para fuqara’ muhajirin lebih dahulu masuk surga daripada orang kaya mereka. Karena orang-orang miskin muhajirin lebih banyak amal shalihnya dibandingkan dengan orang kaya mereka. Memang benar, dengan menjadi kaya kita bisa berperan lebih untuk dien ini dan bisa menjalankan syariatnya dengan lebih lengkap dan sempurna. Dengannya, kita bisa mendapat limpahan pahala yang tak bisa diraih oleh orang-orang fakir dan miskin. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengadukan kemiskinannya. Mereka berkata, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa kedudukan yang tinggi dan kenikmatan abadi. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa melaksanakan haji, umrah, berjihad, dan bershadaqah.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian bisa menyusul orang yang telah mendahului kalian dan jauh meninggalkan orang yang datang sesudah kalian. Tak seorangpun yang lebih mulia dari kalian kecuali ia melakukan seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulallah.” Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir tiga pulah tiga kali setiap selesai shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Kaum Fuqara’ Muhajirin datang kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata, ‘Saudara-saudara kami yang kaya mendengar apa yang telah kami kerjakan, lalu mereka juga melakukan amalan serupa?’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca firman Allah,
ذَلِكَ فَضْلُ الله يُؤتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
“Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim) Namun di sisi lain, banyak ayat yang menyebutkan tentang bahaya dunia. Banyak orang yang tergelincir karenanya. Oleh sebab itu Allah sering sekali mengingatkan agar jangan sampai terpedaya dengannya.
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman: 33) Imam al-Bukhari dalam Shahihnya membuat bab “Al-Muktsiruun Hum al-Muqilluun” (Orang-orang yang banyak harta adalah mereka yang akan miskin pahala pada hari kiamat). Lalu beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Huud: 15-16) Lalu disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمْ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ خَيْرًا فَنَفَحَ فِيهِ يَمِينَهُ وَشِمَالَهُ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَاءَهُ وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا
“Sesungguhnya orang yang banyak harta adalah yang miskin pahala pada hari kiamat kecuali orang yang Allah berikan kebaikan (harta) lalu ia membagikannya ke kanan, kiri, ke arah depan dan belakangnya, serta berbuat yang baik dengannya.” (HR. Bukhari dan Musim) hanya saja orang seperti ini jumlahnya sedikit. Menurut Abi Dzar, maksud banyak harta dan miskin pahala akhirat berlaku bagi orang yang memiliki banyak harta namun tidak menjalankan pengecualian yang disebutkan sesudahnya, yaitu infaq. (Lihat: Fathul Baari: 11/299) Maka siapa yang kaya lalu dia gemar berinfak, maka kaya lebih baik daripada miskin. Sebaliknya, siapa yang kalau kaya menjadi pelit dan bakhil, maka miskin lebih baik daripada kaya. (Disarikan dari perkataan al-Qadhi ‘Iyadh yang dinukil dalam Fathul Baari: 11/305) Maka siapa yang kaya lalu dia gemar berinfak, maka kaya lebih baik daripada miskin. Sebaliknya, siapa yang kalau kaya menjadi pelit dan bakhil, maka miskin lebih baik daripada kaya. Dan berinfak ini lebih utama dikeluarkan dalam kondisi sehat, memiliki banyak rencana, berharap hidup lebih lama, berangan-angan jadi hartawan, dan takut miskin. Bahkan berinfak dalam keadaan ini lebih utama daripada saat mendekati ajal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang shadaqah yang paling besar pahalanya. Lalu beliau menjawab,
أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى
“Yaitu engkau bershadaqah (infak) pada saat sehat, kikir, takut miskin, dan kamu berangan-angan untuk menjadi hartawan yang kaya raya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Namun, kebanyakan orang kaya bakhil mengeluarkan hartanya saat dia sehat dan takut miskin. Maka siapa yang melawan syetannya dan lebih mengutamakan kehidupan akhriat, yaitu dengan tetap berinfak, sungguh dia akan beruntung. Sebaliknya, siapa yang bakhil sehingga enggan berinfak, tidak mengeluarkan zakat, tidak menunaikan wasiat, menutup mata dari orang susah dan peminta-minta, maka ia akan sengsara dan miskin pahala saat harta dan kekayaan tidak lagi berguna. Kebanyakan orang kaya bakhil mengeluarkan hartanya saat dia sehat dan takut miskin. Maka siapa yang melawan syetannya dan lebih mengutamakan kehidupan akhriat, yaitu dengan tetap berinfak, sungguh dia akan beruntung. Penutup Sebenarnya dengan kaya kita bisa meraih pahala yang lebih banyak. Bahkan dengan kekayaan, kita bisa menyokong dan menegakkan perjuangan. Contoh nyatanya, Ustman bin Affan mendapat jaminan surga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui harta yang dimilikinya. Yaitu saat dia mewaqafkan sumur Rumah dan menginfakkan 300 ekor unta dan seribu Dinar pada perang Khandak. (HR. Bukhari, Bab: Manqib Utsman bin Affan) Masih riwayat lain, bahwa orang yang meninfakkan dengan sepasang hartanya dipersilahkan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Setiap penjaga pintu surga memanggil dan memprsilahkan ia masuk dari pintu tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim) Maka berusahalah untuk mencari karunia Allah dari harta benda dengan sungguh-sungguh agar bisa beramal lebih banyak dalam Islam. Hanya saja kalau kaya jangan sampai tertipu dengan hartanya sehingga berbangga diri dan sombong, lupa akhirat dan pelit berinfak. Maka kalau begitu, kaya adalah buruk baginya. Dan kebanyakan orang kaya seperti ini. “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima kasih.” (QS.Saba’: 13) ‘Ala Kulli hal, kaya atau miskin bukan ukuran baik dan mulia. Kemuliaan ditentukan oleh iman dan takwa, yaitu dengan bersyukur saat menjadi kaya dan bersabar saat diuji miskin. Wallahu A’lam. Referensi:
D i Alkitab, kekayaan dipandang sebagai sesuatu yang netral, tidak dipuji tetapi juga tidak dicela. Artinya, benar-tidaknya suatu kekayaan tergantung pada sikap seseorang terhadapnya, apakah ia menjadi orang benar atau menjadi orang yang tidak benar dengan kekayaannya itu. Jika seseorang bergantung pada kekayaannya melebihi ketergantungannya kepada Tuhan, maka pada saat itulah suatu kekayaan menjadi tidak benar. Sebaliknya, jika seseorang dapat mengendalikan kekayaan itu dan memanfaatkannya untuk memuliakan Tuhan dan memberkati sesama, maka pada saat itulah kekayaaan tersebut menjadi benar. Jadi, kekayaan itu sendiri tidaklah salah, yang salah adalah sikap orang yang bergantung kepada kekayaannya. Alkitab tidak pernah mengecam kekayaan itu sendiri, tetapi mengecam sikap hati orang yang bergantung pada kekayaannya. Sejauh seseorang tidak terikat pada kekayaannya, Alkitab tidak pernah mengecamnya.Ada banyak tokoh di Alkitab yang kaya. Sebagian mempergunakan kekayaan tersebut dengan baik, artinya tidak membuat mereka jauh dari Tuhan. Sebagian lagi adalah sebaliknya, mereka justru jauh dari Tuhan karena kekayaannya. Contoh tokoh Alkitab yang kaya namun tidak membuat mereka jauh dari Tuhan adalah Abraham, Ishak, Yakub, dan Ayub. Para bapa leluhur orang Israel, yakni Abraham, Ishak, dan Yakub, diberkati oleh Tuhan sehingga menjadi orang-orang yang kaya di tengah masyarakat sezaman mereka. Tetapi, hati mereka tetap teguh berpaut kepada Tuhan. Demikian juga dengan Ayub, sekalipun ia adalah orang kaya, ia tidak bergantung pada kekayaannya. Terbukti, ketika ia dicobai dengan sangat berat dengan hilangnya seluruh harta kekayaannya dalam sekejap, ia tidak meninggalkan Tuhan. Namun banyak juga tokoh Alkitab yang kaya sehingga membuat mereka menjadi jauh dari Tuhan atau tidak datang kepada Tuhan. Contohnya adalah Hizkia, raja Yehuda. Secara keseluruhan, Hizkia termasuk orang yang benar di mata Tuhan, karena ia tidak menyembah berhala dan tetap berpaut kepada Tuhan. Namun ia tidak benar dalam hal kekayaan. Ketika dia diberkati Tuhan dengan kekayaan dan kerajaan yang kokoh, ia justru memamerkan kekayaannya itu kepada orang-orang Babel (2 Raj 20:12-18). Bukan hanya kekayaan, kemiskinan pun bisa membuat seseorang jauh dari Tuhan. Menarik menyimak doa Agur bin Yake. Ia memohon kepada Tuhan agar tidak diberikan kekayaan maupun kemiskinan. Sebab, jika ia kaya ia akan menyombongkan diri terhadap Tuhan, dan ketika ia miskin ia akan mengutuki Tuhan. Agur bin Yake menyadari bahwa banyak orang yang bersikap tidak benar kepada Tuhan karena kekayaan mereka, dan karena kemiskinan mereka! Namun makna doa Agur bin Yake adalah agar kita tetap cinta Tuhan, baik ketika masih miskin maupun ketika sudah kaya.
DOABapa sorgawi, ajar aku tetap takut dan setia kepadaMu, baik ketika masih miskin maupun sesudah kaya. Dalam nama Tuhan Yesus aku berdoa. Amin.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
كان الفقر والغنى بليتين ومحنتين يبتلي الله بهما عبده
“Kekayaan dan kemiskinan merupakan dua cobaan yang ALLAH Ta’ala uji hamba dengan keduanya.”
[Ighotsatul Lahfan 1/29]
Bacaan 1: Yer 17:5-8Bacaan 2: 1Kor 15:12. 16-20Injil: Luk 6:17. 20-26
MEMBAHAS si miskin dan si kaya selalu menarik. Dunia pun terpolarisasi oleh hal ini, baik secara person maupun negara. Ada orang miskin dan negara miskin demikian juga sebaliknya.
Dalam Alkitab, ada beberapa perikop yang membahas tentang hal ini. Misalnya, Lukas 6: 17-26 dan Matius 5:1-12.
Permenunganku dari kedua perikop ini ada dua:
Maka saya ingin merenungkan secara total. Baik miskin secara rohani maupun materi. Baik miskin secara rohani maupun materi.
“Miskin” untuk menggambarkan ketidakberdayaan seseorang.
Tidak ada orang miskin punya kuasa. Dalam kelemahannya, ia lebih mudah untuk berserah diri kepada yang berkuasa, yaitu Allah.
Dibandingkan dengan si kaya, yang lebih cenderung sombong dan merasa bisa melakukan apapun dengan kekayaannya. Bahkan mungkin ia mampu melupakan Tuhan yang telah memberinya kekayaan.
Menjadi kaya tentu saja tidak salah, namun bagaimana mengelola kekayaan itu yang lebih penting.
Ada empat penghiburan bagi orang lemah dalam perikop ini:
Dalam kelemahannya, ia lebih mudah menerima iman dibanding mereka yang memiliki kekuatan (kekayaan). Lebih mudah percaya, lalu menyerahkan dirinya secara total dan terakhir taat dalam melaksanakan kehendak-Nya.
Hal ini, secara tegas telah difirmankan Allah jauh hari dalam Yeremia:
“Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN… Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN.”
Dalam pengajarannya kepada jemaat Korintus, Paulus mendapatkan pertentangan tentang ajaran “Kebangkitan Badan”.
Korintus masih dalam pengaruh Yunani, termasuk dalam iman. Ada kelompok yang menolak ajaran kebangkitan, termasuk jemaat Korintus.
Mereka dibaptis, mengaku mengimani Kristus, namun menolak ajaran kebangkitan yang merupakan puncak iman dalam keselamatan.
Paulus meyakini bahwa:
“Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.”
Jemaat Korintus banyak terdiri orang-orang kaya, namun sepertinya masih miskin dalam iman.
Kekayaan adalah berkat dari Tuhan, dan tidak salah menjadi kaya. Namun jangan sombong merasa paling kuat.
“Jadilah seperti lilin, yang tidak pernah menyesal saat nyala api membakarmu. Tetaplah pakai maskermu dan jaga jarakmu.”
Baca: Amsal 30:7-14Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. (Amsal 30:8)Bacaan Alkitab Setahun: Wahyu 17-18
Mungkin tidak ada orang yang mau miskin, tetapi pasti banyak yang mau hidup menjadi kaya. Ada banyak penyebab seseorang menjadi miskin atau kaya, entahkah kemalasan dan kerajinan, kebebalan dan kepandaian, atau kejujuran dan kecurangan, tetapi semuanya tidak pernah lepas dari izin Tuhan. Agur bin Yake dalam amsalnya menuliskan hal yang penting dalam permohonannya kepada Tuhan, yaitu jangan memberikan kepadanya kemiskinan atau kekayaan. Meminta jangan diberi kemiskinan adalah hal biasa, tetapi mengejutkan bahwa ia juga meminta jangan diberi kekayaan. Mengapa tidak miskin, tetapi juga tidak kaya? Baginya, ternyata baik kemiskinan maupun kekayaan bisa membawa masalah dan risiko yang berbahaya. Adalah luar biasa ketika ia menyatakan bahwa biarkan ia bisa menikmati makanan yang Tuhan berikan. Tanpa rasa syukur, kekayaan bisa membuat seseorang menyangkal Tuhan. Kekayaan seolah-olah hasil kerja semata sehingga seseorang tidak lagi memerlukan Tuhan dan ia bebas melakukan banyak hal dengan kekayaannya. Sebaliknya, tanpa rasa syukur, kemiskinan bisa membuat seseorang mencuri dan mencemarkan nama Tuhan. Di sekitar kita, tentu kita bisa melihat orang-orang baik yang begitu miskin maupun yang begitu kaya. Tidak jarang hal itu menjadi masalah. Tuhan mengizinkan baik anak-anak-Nya miskin atau kaya. Marilah kita belajar bersyukur dan menikmati apa yang Tuhan berikan, entah kemiskinan entah kekayaan. Itulah yang menjauhkan kita dari penyangkalan dan pencemaran nama Tuhan.
—ANT/www.renunganharian.net
KEMISKINAN ATAU KEKAYAAN BUKAN MASALAHNYA,TETAPI KESANGGUPAN UNTUK BERSYUKUR ITULAH MASALAHNYA
Anda diberkati melalui Renungan Harian?Jadilah berkat dengan mendukung pelayanan kami.Rek. Renungan Harian BCA No. 456 500 8880 a.n. Yayasan Gloria
Stereotip bahwa orang-orang Tionghoa adalah orang-orang kaya begitu kuat melekat dalam benak masyarakat. Padahal, realitasnya tidaklah demikian. Buku ini menunjukkan betapa stereotip tersebut amat keliru. Akan tetapi, yang lebih menarik dari buku ini adalah, tidak hanya menguak fakta adanya komunitas Tionghoa miskin; penulis bahkan menelusuri penyebab mengapa mereka miskin. Lebih tepatnya: dari orang-orang Tionghoa yang dulunya sama-sama miskin, mengapa ada sebagian yang berhasil menjadi kaya, tetapi sebagian lagi tetap hidup miskin.
Buku ini ditulis dalam 5 jilid.
Pertama, buku satu, penulis menempatkan temuan-temuannya dalam dialog teoretis terkait teori kelas, modal sosial, dan kemiskinan. Buku kedua mengisahkan bagaimana cara penulis mengungkap dan menemukan kesimpulan dari penelitiannya. Buku ketiga khusus bercerita mengenai orang-orang Tionghoa Miskin. Sedangkan buku keempat khusus bercerita mengenai orang-orang Tionghoa kaya. Semua tokoh yang diceritakan dalam kedua buku tersebut dulunya sama-sama miskin. Buku kelima merupakan analisis dan sintesis di mana dalam buku kelima tersebut penulis mengemukakan pandangannya mengenai penyebab orang-orang Tionghoa tetap hidup miskin.
Kelima buku bisa dibaca secara acak, tidak harus urut. Bila pembaca ingin mengetahui kisah-kisah orang Tionghoa yang berhasil, bacalah buku empat. Kalau pembaca langsung ingin tahu penyebab dan kesimpulan, bacalah buku 5. Dst.
Sekalipun paparan dan kesimpulan buku ini adalah dalam konteks etnis Tionghoa, bukan berarti hal-hal tersebut tidak cocok untuk etnis lain! Silakan dibuktikan!
Pernyataan kontroversial tentang kekayaan sebagai pilihan sukses dan kemiskinan sebagai takdir sering kali memicu debat panjang.
Bagi sebagian, pernyataan ini mungkin terdengar sebagai generalisasi yang terlalu simplistik, sementara bagi yang lain, itu bisa menjadi pencerahan yang mendorong untuk merenung dan memperbaiki diri.
Dalam menjelajahi topik ini lebih dalam, kita akan membahas beberapa sudut pandang yang berbeda dan mencoba memahami kompleksitas di balik keberhasilan dan kegagalan.